Rabu, 13 Januari 2016

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM

SEBUAH CATATAN PRIBADI
M.DAWAM RAHARDJOM. 

#Di Tulis Oleh Ikhsan Hasibuan

Jika hari cerah, pagi-pagi sekali Merapi yang mengerucut tinggi semampai itu sudah mengamati dengan matanya yang biru: kota Yogyakarta menggeliat bangun, tanpa selimut kabut di atas lembah yang hijau terbentang jauh hingga ke laut selatan, melalui bukit-bukit Gunung Kidul. Merapi itu sendiri bagaikan orang muda yang sudah beruban, ketika tertutup awan tipis yang menyapu
lembut di puncaknya. Lebih-lebih ketika bulan puasa, lembah yang rimbun dan gelap itu sudah hingar bingar oleh celoteh pejalan kaki yang memenuhi Malioboro,

Pembaharuan tanpa Apologia?
yang membelah kota dan menghubungkan utara dan selatan. Di utara, ada masdjid Syuhada yang selalu ramai dengan kegiatan. Di selatan, ada Masjid Besar Kraton dan kampung Kauman. Suara adzan terdengar dari masjid-masjid dan langgar-langgar di seluruh penjuru kota yang religius itu . Aku menengarai bahwa Yogya yang merupakan pusat Muhammadiyah itu tidak memiliki tradisi tarhim, seperti halnya di Solo, terutama di kampungku, Pasar Kliwon yang dihuni oleh orangorang
Hadramaut. Di kerumunan pejalan kaki yang mencari tempat sholat subuh di tempat-tempat lain, seorang pemuda dari Asrama
 ”Yasma”, Masjid Sjuhada bertanya kepada temannya:
 ”Bisakah saya menemukan dia di gelap dinihari ini?” 
Kawannya itu, anehnya, menjawab spontan dan yakin: ”bisa !” karena kemuatan majnun di hatinya. Memang bisa, pemuda yang lagi kasmaran itu menemukan pacarnya di muka Kepatihan. Padahal
suasana gelap karena bulan sudah lengser. Lagi pula gadis itu mengenakan mukenanya yang putih. Tapi karena wajahnya yang persis bulan purnama, pemuda itu dapat juga mengenalinya, barangkali karena sorot mata bundar gadis itu nampaknya mampu menembus dadanya. Keduanya hanya bersalam-salaman, dengan jantung yang berdetak keras, tanpa berpeluk-pelukan tentunya, seperti pemuda-pemudi Amerika.

Di dekat Kauman, ada sekolah khusus putri yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Sekolah itu
dimaksudkan untuk membentuk muslimah-muslimah yang sholihah. Konon, tujuannya adalah untuk mencetak istri-istri yang baik, yang konon bisa menjadi tiang keluarga sakinah. Di sebelah utara, terdapat kampus Universitas Gadjah Mada, sebagian kuliah masih mempergunakan ruang-ruang Kraton ”Sitihinggil”, Kasunanan Yogyakarta. Masih di bagian itu juga terdapat Universitas Islam
Indonesia (UII), tempat berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di sebelah timur, di pinggir jalan menuju ke Solo, berdiri Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Kawasan utara-selatan itu, dihubungkan oleh kegiatan pacaran antara mahasiswa dan murid sekolah-sekolah putri
Muhammadiyah yang berdiri di Notoprajan yang bergandengan dengan Kauman dan Muallimat NU di sebelah barat Notroprajan. Mahasiswa yang belajar ilmuilmu ”sekuler” itu beranggapan bahwa lulusan sekolahsekolah putri yang umumnya berkerudung itu adalah calon-calon istri yang ideal. Apalagi pada umumnya, mereka berasal dari kelas menengah. Tapi mahasiswa dari kampus utara itu melakukan pacaran ”gelap”, karena dilarang oleh orang tua si gadis. Rupanya si gadis itu sudah ditunangkan dengan saudara sepupunya dari Fakultas Farmasi yang mondok di rumah pamannya itu. Inilah yang menimbulkan ”pemberontak- Pembaruan Pemikiran Islam.

Pembaharuan tanpa Apologia?
 di jiwa pemuda itu, mempertanyakan tradisi fiqih mengapa mengizinkan dua orang saudara sepupu kawin, karena di negara-negara maju hal itu sudah dianggap incest yang menyebabkan keturunan lemah. Padahal al Qur’an sendiri tidak menghendaki keturunan yang lemah, karena itu mengapa hukum fiqih itu tidak diubah saja atas dasar penemuan baru ilmu pengetahuan? Sebab lain larangan berpacaran itu adalah perbedaan suku, si gadis berasal dari Banjar sedangkan si mahasiswa adalah
seorang pemuda Jawa yang derajatnya dianggap lebih rendah oleh orang Melayu, atau mungkin disangka kemuslimannya kurang. Tapi dalam pergaulan mahasiswa, terutama di HMI, perbedaan suku itu praktis sudah lebur, walaupun tawuran pemuda antar suku-suku itu masih sering terjadi, terutama antara pemuda Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Kasusnya bisa sering soal
pacaran. Pernah terjadi, seorang mahasiswa yang dikenal sebagai qori’ dari Sumatera Selatan dihajar hingga babak belur dan dilempar ke parit, gara-gara ia memacari seorang pemudi asal Sulawesi Selatan yang berdarah ningrat Bugis, puteri seorang Walikota Makassar. Jika Solo dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta lebih dikenal sebagai kota mahasiswa. Yogya, yang pernah menjadi Ibu Kota RI itu, juga dikenal sebagai kota kebudayaan. Penyair-penyair besar seperti Rendra atau Kirdjomulyo bermukim di sini. Di majalah ”Mer265 deka”, Rendra pernah menulis bahwa ia lebih suka tinggal di Yogya, karena ia masih bisa bergayut di dahan dan ranting pohon-pohon trembesi yang tumbuh di sepanjang Malioboro. Hanya saja majalah-majalah sastra seperti ”Sastra”, ”Cerpen”, ”Horison” dan ”Konfrontasi” atau membuka ruang sastra seperti ”Siasat” atau ”Merdeka” terbit di Jakarta. Tapi di lapangan intelektual, Yogya cukup menonjol dengan majalah-majalah kampus dan mahasiswanya. Majalah yang diterbitkan oleh HMI, ”Media”, dikelola di kota Gudeg ini. Demikian pula majalah ”Cita”, kebanggaan Pelajar Islam Indonesia (PII). Di lingkungan gerakan Islam, Yogyakarta memiliki budayawan besar, Mohammad Diponogoro merintis seni panggung melalui
”Teater Muslim” . Di sinilah Arifien C. Noer, Syu’bah Asa, Choirul Umam dan Amak Baljun dilahirkan. Saya sendiri ketika menjadi Ketua Panitia Maulud Nabi Masjid Sjuhada, sempat mendirikan kelompok koor dengan nama ”Pecinta Musik Muslim”, yang dipimpin oleh seorang Ahmadiyah, komponis Suhadi. Anggotaanggota paduan suara itu antara lain, Amaroso Katamsi,
Pranawengrum, Widiyati Saebani, Ivada (kemudian menjadi panyiar TV), Suyono, Pung Masykuri dan orangorang yang banyak di antaranya berasal dari Fakultas Ekonomi UGM. Saya membentuk kelompok paduan itu karena saya pernah menjadi anggota koor gereja Presbyterian Church, Boise, Idaho, AS, ketika saya menjadi pelajar AFS. 

Di kegiatan pemikiran Islam pada waktu itu digerakkan oleh Islam Study Club (ISC) yang dipimpin
oleh Santoso Pudjosubroto, kelak pernah menjadi Hakim Agung dan digairahkan oleh penceramah-penceramah seperti Mukti Ali, Ahmad Basuni dan wartawan senior Sundoro. ISC sering mengadakan acara ceramah dan diskusi di aula masjid Syuhada. Pada waktu itu Masjid Syuhada sudah menjadi ”pusat kebudayaan” menurut konsep Gazalba, ”masjid sebagai pusat kebudayaan”. Di aula inipun sering dipentaskan pembacaan puisi. Karena merupakan pusat perguruan tinggi dan masyarakat mahasiswa, maka logis jika HMI dilahirkan di kota ini. Tapi pelopor pendiri HMI bukan orang-orang
Yogya atau Jawa, melainkan orang-orang Luar Jawa. Pendiri HMI, Lafran Pane, adik sastrawan besar Pujangga Baru, Armyn Pane dan Sanusie Pane, adalah orang Batak Mandailing. Penggerak HMI sebenarnya adalah orang orang Luar Jawa juga. Hanya saja, rasa perbedaan suku di lingkungan HMI dan gerakan-gerakan mahasiswa lainnya, seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) , CGMI (Consentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia) atau PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik Indonesia), boleh dikata sudah tidak ada, walaupun orangorang asli Yogya, masih nampak ketidak-senangannya terhadap orang-orang ”Sumatera”, yang mewakili orang Luar Jawa itu, karena mereka sering suka berkelahi atau memacari gadis-gadis Jawa, tetapi akhirnya menuruti kemauan orang tua mereka, kawin dengan perempuan sesuku dan dari kalangan keluarga mereka sendiri. Saya berkenalan dengan orang-orang Luar Jawa, bukan terutama di UGM, melainkan di HMI. Di situlah
saya berkenalan dengan Djohan Effendi, orang Banjar, Mahadi Sinambela, orang Batak, juga Ahmad Wahib, orang Madura. Tapi terus terang, ketika bergaul dengan Wahib, saya tidak pernah menyadari bahwa Wahib itu orang Madura. Saya cuma menyadari bahwa Amien Rais adalah orang Solo, karena kami pernah satu sekolahan di madrasah Al Islam, atau Nurbasya Junaid, sekarang masih Ketua GKBI, orang Pekalongan atau Tawangalun. Kami bertemu dan berteman akrab di HMI, melebur identitas kesukuan dan kedaerahan kami masing-masing. Sebelum masuk HMI, saya pernah aktif menjadi pengurus PII sejak SMP di Solo. Karena aktif di PII itulah saya bisa ikut serta dalam program AFS (American Field Service) dan bersekolah di Borah High School, Idaho. Ketika menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi UGM, saya tidak langsung tertarik masuk HMI. Malah saya pernah tertarik masuk ke Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Tapi akhirnya saya masuk juga ke HMI,
karena ditarik-tarik oleh teman-teman dekat saya, terutama Mohammad Assegaf, seorang teman sekelas di SMA, tapi lebih dahulu masuk ke Fakultas Hukum UGM. 


Saya kira, saya akhirnya memilih HMI, karena saya berasal dari sebuah keluarga santri-modernis. Ayah saya sendiri bersekolah di Mamba’ul Ulum dan sekaligus mondok di Pesantren Jamsaren. Setelah lulus, mula-mula menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, kemudian menjadi
pengusaha yang sukses. Karier saya di HMI tidak usah merangkak dari bawah. Soalnya, saya langsung bergaul dengan tokoh-tokoh HMI. Dari situ saya dikenal ”memiliki ilmu”. Sejak di SMA saya memang sudah gemar membaca. Ayah saya sendiri sangat memanjakan saya untuk beli buku. Karena pernah sekolah di Amerika, maka saya punya kemampuan untuk membaca buku-buku Inggris. Tapi saya sendiri pernah menerjemahkan puisi-puisi dalam bahasa Inggris dan masuk koran dan majalah. Kamudian saya manyair dan menulis cerita pendek ketika mahasiswa. Dari buku-buku
sastra, saya merambat ke buku-buku ilmiah. Bahkan di SMA saya sudah membeli buku-buku Sigmund Freud dan Karl Marx yang saya dapatkan di toko buku kecil tapi lengkap, ”Budi Laksana”, Solo. Saya juga membaca karyakarya Iqbal terjemahan Bahrum Rangkuti, di samping membaca sendiri lirik-lirik Tagore dari bahasa Inggris. Ketika mahasiwa saya pernah menerjemahkan karya Tagore, ”Karna dan Kunti” dimuat di majalah Horison. Di majalah itu pula saya pernah memasukkan terjemahan nukilan novel Nikos Kazansakis, ”The Last Temtation of Christ” yang kontroversial itu. Konon H.B. Jassin dan redaktur lainnya menolak memuat terjemahan itu. Tapi berkat perjuangan
Soe Hok Gie, akhirnya terjemahn itu dimuat juga yang ternyata mengundang banyak surat protes, mungkin karena ada adegan persetubuhan antara Jesus dan pelacur Magdalena, walaupun hanya dalam khayal. Saya masuk HMI mungkin juga karena saya sendiri sebenarnya sudah mengenal pergerakan Islam. Saya sangat mengenal dekat Masyumi, karena keluarga saya
adalah keluarga Masyumi. Sejak SMA saya selalu mengikuti majalah ”Cita” maupun ”Media”, juga majalah kebudayaan Islam ”Misykah” yang hanya terbit dua kali itu, yang memuat karya-karya ilmiah maupun sastra dan kebudayaan. Dua majalah itulah yang mengisi saya dengan roh gerakan Islam, kala masih remaja. Ketika menjadi mahasiswa, saya membaca dengan tekun majalah ”Panji
Masyarakat” yang diasuh oleh buya Hamka. Dari situlah saya mengenal A. Mukti Ali yang sering menulis soal-soal pembaharuan Islam. Saya kira Mukti Ali lah yang pertama kali memperkenalkan ide-ide pembaharuan pemikiran Islam. Ia pernah pula membandingkan gerakan pemikiran  DI Mesir dengan di Indonesia. Ia pula yang mengungkapkan arti penting Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaharu dengan pola dinamismenya yang membedakan diri dari pembaharuan di Mesir yang lebih bercorak liberal di bidang pemikiran. Akibatnya memang, Muhammadiyah tidak dikenal sebagai pelahir pemikiran pemikiran baru. Itulah barangkali yang menimbulkan kesan pada Nurcholish Madjid di kemudian hari, bahwa Muhammadiyah sudah tidak lagi menjadi ”pembaharu”. Sebab, pembaharuan pemikiran hanya dilakukan di tahap awalnya saja. Selanjutnya, Muhammadiyah lebih menekankan gerakan amal sosial, terutama di bidang pendidikan. Dari pemikiran liberal, Muhammadiyah berpindah kepada dinamisme. Hal itu terjadi karena pengalaman  Bahwa pemikiran liberal yang dilancarkan oleh Muhammadiyah pada tahap awal berdirinya, ternyata telah menimbulkan banyak kontroversi. Dengan dinamisme dan bersemboyan ”Sedikit bicara banyak bekerja”, Muhammadiyah selamat dan berkembang terus, walaupun tidak dikenal sebagai sumber pemikiran baru. Agaknya pemikiran baru itu hanya bisa dilontarkan oleh individuindividu pemikir. Karena jika sudah menjadi organisasi, apalagi organisasi besar seperti Muhammadiyah, risikonya
sangat besar, baik berhadapan dengan masyarakat maupun pemerintah. Sungguhpun begitu, Muhammadiyah sempat melahirkan seorang pemikir liberal seperti Ahmad Azhar Basyir, lulusan Universitas al Azhar, yang mengajar filsafat Islam di UGM. Di HMI saya langsung menjadi tokoh ”pemikir” atau ketika itu dikenal dengan sebutan ”konseptor”, antar lain mengembangkan kurikulum training-training. Hal yang sama dialami oleh Djohan Efendi dan Ahmad Wahib. Djohan
Efendi sendiri sebelumnya sudah dikenal sebagai tokoh pemikir. Ia pernah menjadi asisten Pak Arsyad dalam Sunday Morning Class, sebuah forum ceramah terbuka (juga dalam arti dilakukan di halaman terbuka) yang diselenggarakan oleh gerakan Ahmadiyah Lahore. Ternyata ke-Ahmadiyahan Djohan tidak pernah diungkit-ungkit di lingkungan HMI. Tapi pula karena Djohan tidak pernah menonjolnonjolkan ke-Ahmadiyahan-nya. Arus pemikiran Islam liberal memang mengalir dari
dan lewat Ahmadiyah. Buku-buku Ahmadiyah itu dibaca oleh Tjokroamninoto, Agus Salim, Sukarno dan kemudian Mukti Ali yang pernah belajar di Pakistan dan berkenalan langsung dengan orang-orang Ahmadiyah. Tapi tidak seorangpun dari tokoh-tokoh pemikir itu yang masuk Ahmadiyah. Tulisan orang-orang Ahmadiyah itu juga masuk ke majalah Media. Djohan Efendi dan beberapa
orang Ahmadiyah seperti misalnya Ahmad Mohammad Djojosugito dan Sofyan Lamardy juga masuk ke HMI, walaupun mereka tidak terang-terangan mempropagandakan Ahmadiyah, bahkan mereka cenderung bersikap taqiyah (bersembunyi). Saya sendiri juga menggemari literatur Ahmadiyah, terutama membaca karya-karya Mohammad Ali, Bahrum Rangkuti dan kemudian tafsir al Qur’an karya Bashiruddin Mahmud Ahmad. Sekalipun Bahrum Rangkuti adalah orang Ahmadiyah Qadian, tetapi ke-Ahmadiyahannya tidak pernah diungkit-ungkit juga dalam gerakan Islam. Bahkan ia pernah diangkat menjadi Sekjen Departemen Agama dan menjadi tokoh  Budayawan Islam yang sangat dihormati. Pembaharuan pemikiran Islam yang bercorak liberal sebenarnya bukan merupakan gejala baru. Hanya saja para pembaharu itu tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pembaharu. Yang menyebut biasanya adalah pengamat atau ilmuwan, misalnya Mukti Ali pada akhir ’60-an, selaku
ilmiawan dan pengamat. Padahal pemikiran-pemikiran baru itu telah dilakukan oleh banyak orang, seperti Ahmad Dahlan, Ahmad Sorkati, Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukarno dan Natsir, masing-masing membawa aspek pemikiran tersendiri. Tapi di antara para pemikir itu, yang paling bercorak liberal adalah Sukarno, yang bisa dikategorikan sebagai pemikir Islam liberal pertama. Mukti Ali, dalam salah satu tulisannya menilai bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pembaharu pemikiran liberal di Indonesia. Setelah Natsir, yang tampil sebagai pembaharu, walaupun ia lebih menempatkan diri sebagai pengamat, adalah Mukti Ali. Tapi di Yogya, dari kampus yang sama, sebenarnya muncul pembaharu yang lain, walaupun kurang dikenal atau diakui, yaitu M. Hasby Asshidiqie. Dia pernah melontarkan gagasan mengenai ”fiqih Indonesia”, yaitu sebuah fiqih yang kontekstual, yang kini mungkin lebih populer dengan sebutan ”fiqih sosial” yang dipersonofikasikan pada K.H. Alie Yafie dan K.H. Sahal Mahfud dari NU. Saya kira karena pengaruh lontaran pemikiran itulah, maka Ahmad Wahib dalam buku hariannya, banyak melakukan kritik terhadap fiqih
tradisional. Dalam catatan harian Ahmad Wahib, tersebut banyak nama, di antaranya adalah Sularso dan Sudjoko Prasodjo. Saya memandang, dua orang tokoh senior HMI pada
zaman kami dulu itu sebagai para pembaharu. Saya berpendapat bahwa tokoh budayawan semacam
Diponogoro adalah juga seorang pembaharu liberal, dengan seni panggung yang diperkenalkannya. Hanya saja ia adalah seorang inovator di bidang teater. Boleh dikatakan, inovasinya bersifat mendobrak tradisi umat Islam dan konsep dakwah yang berpotensi kontroversial.
Inovasi lain Mas Dipo, panggilan akrabnya, adalah puitisasi terjemahan al Qur’an yang kemudian
diikuti oleh Endang Saifuddin Anshari dan H.B. Jassin. Ternyata inovasi Mas Dipo disambut luas, tanpa menimbulkan kontroversi. Padahal terjemahan H.B. Jassin dikritik sengit oleh beberapa ulama. Peranan Mas Larso dan Mas Djoko memang terbatas di lingkungan HMI. Keduanya adalah konseptor sebuah naskah yang berjudul ”Kepribadian HMI”. Tulisan yang kemudian diakui resmi oleh HMI itu, memakai pendekatan sejarah untuk merumuskan ciri-ciri kepri-badian HMI. Modelnya semacam Manifesto Komunis, tulisan Karl Marx atau Pidato ”Lahirnya Pancasila” Bung Karno. Konsep itulah yang kemudian digantikan dengan konsep ”Nilai-nilai dasar Perjuangan HMI” (NDP-HMI) yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dan disyahkan dalam Kongres HMI di Malang, 1968. Padahal NDP memakai pendekatan normatif dan teologis, karena itu terkesan lebih otentik sebagai cerminan ajaran Islam. Tapi ”Kepribadian HMI” berhasil mengubah cara berfikir kalangan HMI ke arah yang bercorak liberal-progresif. Jika NDP lebih bersifat ”fundamantalis” yang hingga kini
masih berlaku itu, maka ”Kepribadian HMI” secara lebih jelas mengandung ide-ide kebangsaan, sosialisme dan demokrasi.

Mas Larso memang adalah seorang demokrat jika tidak disebut sosialis. Di lingkungan HMI, ia memperkenalkan pemikiran Tjokroaminoto, Sukiman Wirjosandjojo dan juga Tan Malaka. Tapi ia kemudian sempat belajar ke Jerman Barat dan dari sana membawa pemikiran sosial-demokrasi yang dirumuskan oleh Willie Achler, yang dikenal juga oleh Nurcholish Madjid. Konsep Sosial-Demokrat ini ia perkenalkan di forum senior-course di pesantren Nagrek. Gagasan ini sampai juga ke telinga
Ahmad Wahib dan diulasnya dalam catatan hariannya. Mas Djoko, bapak Dr. Imam Prasodjo, sosiolog muda dari UI itu, adalah seorang budayawan dan sastrawan yang menulis cerpen-cerpen yang apik. Ia kemudian juga menjadi redaktur dan penulis di majalah ”Gema Islam”, Jakarta. Kami menjuluki Mas Djoko sebagai ”Tan Malaka”, karena ia sering mengembara dan tahu-tahu muncul di
berbagai tempat. Saya sendiri sering bertemu dengan Mas Djoko di rumah Mas Asrori, seorang dosen sosiologi dari Universitas Sebelas Maret. Orang ini juga punya pikiran yang ”macem-macem” mengenai soal-soal kemasyarakatan dan sangat menguasai teori Talcott Parsons. Mas Djoko
sering juga melontarkan ide-ide segar. Tapi ia lebih dikenal sebagai seorang guru yang bersedia mendengarkan dan mengapresiasi orang lain, sekalipun lebih muda.
Mas Larso dan Mas Djoko juga terlibat dalam gerakan dakwah di lingkungan PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) yang dipimpin oleh Letjen. Sudirman. PTDI ini juga punya tokoh pemikir pembaharu, yaitu Marwan dari Solo dan Widjisaksono dari Yogya yang ahli kejawen dan sejarah Islam di Jawa. PTDI membuat definisi baru mengenai dakwah, yaitu ”mengubah masyarakat dari satu kondisi ke kondisi yang lebih baik”. Pemikiran ini juga mempengaruhi HMI, sehingga organisasi mahasiswa Islam ini cenderung berfikir historis-sosiologis.
Baik mas Larso maupun mas Djoko adalah guru-guru kami, walaupun dengan gaya yang berbeda. Mas Larso sering mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang provo-katif. Ia sering melakukan penilaian yang kritis terhadap Masyumi, terutama kepemimpinan Natsir. Ia menyayangkan
pemikiran Natsir yang tidak apresiatif terhadap nasionalisme. Ia juga menyesalkan mengapa ia menyianyiakan kepercayaan Bung Karno kepadanya, ketika ia menjadi sekretaris Bung Karno. Ia juga mempertanyakan mengapa Natsir lebih dekat dengan Sjahrir, padahal tokoh PSI ini tidak memiliki empati sama sekali terhadap Islam.
Apakah kedekatan Natsir dengan Sjahrir karena unsur kesukuan, karena kedua-duanya berasal dari Minang? Walaupun keduanya berasal dari fakultas pendidikan, tapi Sularso lebih berfikir politis, sedangkan Mas Djoko lebih bersikap edukatif. Berbeda dengan mas Larso yang kritis terhadap Masyumi, Mas Djoko lebih apresiatif terhadap tokoh-tokoh Masyumi yang berwatak demokratis. Ia sering mengerem sikap kritis orangorang seperti Mar’ie Muhammad dan Sulastomo terhadap Masyumi. Perbedaan sikap ini ikut mewarnai pemikiran Djohan-Wahib, sebagaimana tercermin
dalam buku harian Ahmad Wahib. Keduanya bersikap kritis terhadap politik Masyumi yang kurang apresiatif terhadap ide kebangsaan, tetapi mereka berdua sangat menghargai pribadi-pribadi para pemimpin Masyumi, seperti Natsir, Prawoto, Roem dan Sjafruddin. Walaupun ia bersikap kritis terhadap Masyumi yang dekat dengan PSI, tetapi teman-teman bergaulnya lebih akrab dengan kalangan PSI. Ia bersahabat misalnya dengan Goenawan Mohamad. Jika ke Solo, Goenawan
menginap di rumah Mas Larso di Laweyan. Misalnya ketika mengantarkan kawannya dari Philipina, Jose Rocamora, yang menulis disertasi mengenai PNI dan kemudian mengajar di Universitas Berkeley, California. Kami juga sering menyambut kedatangan Wiratmo Sukito, ketika mempropagandakan Manifesto Kebudayaan di Solo. Saya sendiri juga ikut kampanye Manikebu di Yogya, terutama dengan Romo Dick Hartoko dan pernah menyelenggarakan pertemuan antar budayawan di pusat Kateketik, di Kota Baru, Yogya. Namun saya tidak sempat ikut menanda-tangani dukungan terhadap Manikebu, sehingga saya selamat dari pengucilan. Cerpen dan esaiesai saya tentang kebudayaan tidak dicekal di Yogya, Solo, maupun Jakarta. Saya sebenarnya tidak tahu bahwa
Wahib bersahabat dengan room-romo atau pasturpastur. Tapi saya sendiri bersahabat dan sering ngobrol dengan Romo Dick Hartoko. Mas Larso sebenarnya adalah orang yang ”menemukan”
(discover) Ahmad Wahib. Pada suatu hari kami menghadiri ceramah Ketua HMI pada waktu itu, Drs.
Med. Sulastomo, seorang tokoh muda, asal Solo, berperawakan tinggi, putih dan bermata sipit seperti Cina yang jika berkata selalu disertai dengan senyum. Pada waktu itu ia dikenal cukup dekat dengan Bung Karno. Kami berdiri di luar, di muka pintu gedung di halaman selatan Masjid Agung, Kesunanan Yogyakarta, tempat Sri Sultan bersembahyang Jum’at. Lalu Mas Larso, menyeletuk: ” Wam, saya tunjuki sini seorang anak pinter”, katanya. ”Mana?” tanyaku. ”Itu yang duduk dimuka
itu!” jawabnya. Saya melihat seorang yang berperawakan kecil sedang tekun mendengarkan ceramah mas Tom mengenai perkembangan politik nasional. Sejak itulah saya berkenalan dan bergaul dengan
Wahib. Rupanya dia sudah tahu saya dan tahu bahwa saya memiliki banyak buku. Maka ia sering datang ke Asrama ”Yasma” dekat masjid Syuhada. Setelah ngobrol, pulangnya ia meminjam buku. Saya ingat, yang dipilih adalah buku-buku berbahasa Inggris, salah satunya adalah buku tentang ”Men of Ides and Men of Action”. Karena membaca buku berbahasa Inggris, maka dalam
catatan hariannya ia mengkririk pandangan keliru Mukti Ali tentang Freud dan Marx. Freud memang
sering disalah-pahami sebagai orang yang mendewakan seks dan Marx adalah seorang materialistis. Persepsi ini sangat keliru yang menandakan bahwa mereka tidak
membaca Marx ataupun Freud. Walaupun kami lahir di tahun yang sama, 1942, saya
di bulan April dan Wahib di bulan November, tapi Wahib menganggap saya seniornya, mungkin karena ia merasa banyak menggali ilmu dari saya. Dalam pergaulan, ia memanggil saya dengan sebutan akrab ”Mas Dawam”. Malah mungkin ia mengaggap dirinya ”kader” saya. Tapi dalam forum diskusi ia berani berbeda pendapat dengan saya, misalnya mengenai modernisasi. Dia sangat pro modernisasi, sedangkan saya sering bersikap kritis terhadap modernisasi. Di HMI, kami bergaul di lingkungan perkaderan. Kami, demikian juga Djohan Efendi dan Mansyur Hamid, seorang Bugis yang suaranya merdu ketika membaca al Qur’an, diangkat menjadi instruktur. Mansyur juga
seorang yang berpandangan liberal. Pada waktu itu, HMI Cabang Yogya selalu mengadakan training di desa-desa,  di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah di sekitar Muntilan, Magelang, hingga ke daerah Temanggung, juga sampai ke Bantul di pantai selatan, yang merupakan pusat Muhammadiyah. Daerah Magelang dan Muntilan terletak di kaki sebelah barat Gunung Merapi. Di waktu malam, udaranya sangat dingin, merasuk sampai ke tulang. Di siang hari, udaranya sejuk karena daerah itu sangat rimbun, khas pedesaan Jawa. Pernah saya kedinginan, karena hanya berselimut sarung, sehingga saya terpaksa menyelamatkan diri dengan ”adu punggung”
dengan seorang kawan yang berbadan besar. Dalam acara training inilah, di luar kelas, kami ngobrol dan berbincang tentang segala hal. Saya merasa, catatan Ahmad Wahib itu banyak yang merupakan
refleksi diskusi-diskusi yang kami lakukan. Pada suatu hari, saya punya ide untuk membentuk grup diskusi dengan meminta Pak Mukti Ali menjadi pembimbing yang kemudian disebut ”Limited Group”. Saya lalu minta Ahmad Wahid menjadi sekretaris, sehingga ia bisa mempersiapkan jadwal acara dan undangan. Banyak orang yang ikut dalam diskusi, walaupun bergantian, di antaranya Sjaifullah Mahyuddin, Ichlasul Amal, Syu’bah Asa, Amien Rais, dan Yahya Muhaimin. Pernah kami
berdiskusi di kediaman Romo Baker, sahabat Pak Mukti Ali. Saya ingat umpamanya, Ichlasul Amal, yang kemudian Rektor UGM itu membawakan teori sistem politik Gabriel Almond, yang merupakan gambaran dari sistem politik yang universal. Dialog antar agama sudah merupakan pemikiran
kami pada waktu itu. Mungkin ini karena pengaruh Pak Mukti Ali yang mempelopori studi perbandingan agama. Sikap ini tercermin ketika Mukti Ali menjadi Menteri Agama. Ia menugaskan Djohan untuk merintis dialog antar-agama. Dengan ikut sendiri mengalami program-program Limited Group saya menilai program A. Mukti Ali ketika menjadi Menteri Agama otentik.
Saya teringat kepada ucapan Mukti Ali ketika mengantarkan diskusi. ”Saudara-saudara jangan melihat hari ini. Coba tunggu 10 tahun lagi. Pasti diskusi yang

kita lakukan hari ini ada manfaatnya”. Sejarah memang membuktikan ucapan Mukti Ali itu.
Karena itu, tanpa bermaksud untuk bersikap tinggi hati, saya berpendapat bahwa sebelum Nurcholish
Madjid mengucapkan pidatonya mengenai penyegaran pemikiran Islam di Indonesia, kami di Yogya, merasa sudah merancangkan gerakan pembaharuan pemikiran. Saya kira, Nurcholish Madjid juga ”ditemukan” oleh Mas Larso, karena pada suatu hari saya juga diberi tahu bahwa di Jakarta ada ”anak pinter”. Oleh Mas Larso saya kemudian diperkenalkan kepada Cak Nur, di Kantor
PB. HMI di Jalan Diponegoro. Pada waktu itu Cak Nur baru menulis naskah panjang yang berjudul ”Islamisme”. Agaknya Cak Nur ingin mengisi konsep ”Islamisme” pada trilogi Bung Karno ”Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Mas Larsolah yang meyakinkan kawankawan pimpinan HMI, bahwa Nurcholish Madjid adalah pemimpin masa depan. Maka dalam Kongres HMI di Solo, dilakukan rekayasa untuk menjadikan Cak Nur sebagai Ketua HMI melawan Eki Sjahruddin yang
dijagokan kalangan Masyumi. Kami di Yogya, walaupun menyiapkan konsepkonsep
pembaharuan, antara lain, kami mengusulkan disusunnya dua naskah, pertama tentang ”Fundamental
Value of Islam” dan kedua, ”Basic Demand of Indonesian Society”, mengikuti kerangka pemikiran sosial-demokrat yang di bawa oleh Mas Larso. Ternyata yang bisa direalisasikan hanya konsep pertama, oleh Cak Nur yang menjadi naskah ”Nilai-Nilai dasar Perjuangan” yang
bersifat normatif. Sedangkan analisis sosial-histrorisnya hingga kini belum pernah ditulis.
Kelompok Yogya, di lingkungan Djohan-Wahib, ketika itu menentang pemilihan kembali Cak Nur
sebagai Ketua HMI. Karena pencalonan kembali Cak Nur direkayasa oleh kelompok Bandung, di lingkungan Endang Saifuddin Anshari, Imaduddin dan Sakib Mahmud yang dinilai menganut aliran fundamentalis. Itulah yang sebenarnya melatar-belakangi Djohan- Wahib keluar dari HMI. Pada waktu itu, kelompok Bandung melihat Cak Nur sebagai ”Natsir Muda” yang pernah saya laporkan juga di jurnal ”Surakarta” sesudah Kongres Solo.

Kelompok Bandung itu mengira, bahwa Cak Nur berfaham fundamentalis, yang dalam catatan Ahmad Wahib disebut dengan istilah ”ideologi kuat”. Ketika Cak Nur mengemukakan gagasan penyegaran pemikiran Islam di Gedung GPII-PII, Menteng, maka kecewa besarlah kelompok Bandung itu, sehingga Endang Saifuddin Anshari menulis sebuah buku khusus menguraikan kekecewaannya itu. Menurut mereka, sesudah diundang ke AS, Cak Nur sudah berubah menjadi Westernis. Sebaliknya Wahib-Djohan, yang waktu itu masih di Yogya (saya sudah di Jakarta bekerja
di Bank of America), bersorak ria menyambut pemikiran Cak Nur yang liberal itu. Dalam catatan harian Ahmad Wahib, ia mendukung pemikiran Cak Nur. Dalam realitas, berbagai pemikiran baru Wahib telah ditulisnya dalam catatan hariannya. Saya kira, Ahmad Wahib ”ditemukan” dua kali.
Pertama, oleh Mas Larso. Kedua, saya kira oleh Djohan Efendi. Seandainya Djohan tidak tahu bahwa sahabatnya yang paling dekat dalam pemikiran itu menulis buku harian, maka pemikiran Ahmad Wahib tidak akan pernah dikenal. Karena buku harian itulah, yang memakan korban cacian, — termasuk terhadap diri saya, hanya karena sayalah yang mensponsori penerbitan buku itu ketika saya menjadi Direktur LP3ES, padahal saya banyak berbeda dengan Wahib—maka Ahmad Wahib dinilai sebagai salah seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam Liberal dalam buku hasil disertasi Dr.
Greg Barton dari Australia. Saya menilai pemikiran Wahib lebih bersifat menggugat
dan mendobrak faham-faham konvensional, atau dengan istilah sekarang, melakukan dekonstruksi,
karena itu menimbulkan sikap anti-pati dari kalangan fundamentalis, seperti antara lain tercermin dari komentar Prof. Rasyidi. Saya sendiri merasa bahwa saya cenderung berusaha untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam, dengan tujuan memberdayakan umat Islam untuk bisa melakukan proses transformasi kepada kondisi yang lebih baik. Karena itu maka saya sangat bersimpati dengan pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman, Hassan Hanafi dan Abed al Jabiri, para pemikir Islam kontemporer, walaupun saya hanya membaca dari terjemahan-terjemahan dari teks yang berbahasa Arab. Mereka juga melakukan dekonstruksi, tetapi berbeda dengan penganut aliran Posmo, mereka juga melakukan rekonstruksi pemikiran Islam. Tapi saya melihat bahwa isu-isu pemikiran yang ditulis dalam catatan harian Ahmad Wahib ternyata menjadi topik pembahasan pemikir-pemikir Islam kontemporer itu. Pemikiran dan renungan Ahmad Wahib yang menjangkau jauh kemuka itu saya rasa adalah karena hasil pemikirannya yang bebas, jujur dan berani, yang dewasa ini saya lihat
terbersit pada pemikir-pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Hamid Basyaib, dan Ulil Abshar-Abdalla.

Padangsidimpuan,14 januari 2016 (2.20 Wib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar