Minggu, 17 Januari 2016

REVOLUSI MENTAL

INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?
Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.
Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.
Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?
Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.
Izinkan saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.
Sebatas kelembagaan
Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.
Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.
Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas.
Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran hukum.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa.
Perlu revolusi mental
Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Dari mana kita mulai
Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.

Rabu, 13 Januari 2016

PENGERTIAN ORGANISASI DAN UNSUR-UNSURNYA




1.PENGERTIAN ORGANISASI DAN UNSUR-UNSURNYA
Organisasi adalah suatu system yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang dilakukan secara teratur dan berulang-ulang oleh sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan (Indriyo Gitosudarmo, 1997).
Dari sini dapat dikatakan atau ditunjukkan bahwa organisasi memiliki unsur-unsur.

Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1). Sistem.
Bahwa organisasi adalah kumpulan dari sub-sub system.

2). Pola Aktivitas
Bahwa didalamnya ada aktivitas-aktivitas yang dilakukan orang yang dilaksanakan secara relative teratur dan cenderung berulang.

3). Sekelompok Orang.
Organisasi adalah kumpulan orang-orang.

4). Tujuan.

Setiap organisasi didirikan adalah untuk mencapai suatu tujuan.
Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen mendefinisikan organisasi sebagai
kumpulan orang yang mengadakan pembagian pekerjaan yang dikoordinasikan untuk mencapai
tujuan bersama. Dalam pengertian ini mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1). Tujuan yang disepakati oleh anggota-anggota organisasi. Tujuan ini menjadi “jiwa” organisasi.

2). Proses yang mengubah masukan/sumber daya yang dimiliki menjadi keluaran/hasil sebagaimana diinginkan.

3). Pembagian pekerjaan di antara anggota. Termasuk di sini adalah pembagian tugas dan wewenang secara horizontal maupun vertical.

4). Kerjasama dan koordinasi supaya pembagian pekerjaan menjadi efektif dan efisien. Kehidupan manusia di dunia tidak dapat terlepas dari organisasi. Setiap hari kita berhubungan dan terlibat dengan organisasi dan hidup kita dipengaruhi dan mempengaruhi organisasi dalam derajat yang berbeda-beda. Secara sadar kita terlibat dalam organisasi sebagai siswa, karyawan, anggota gereja, warga negara dll.
Organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok individu yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama. Definisi yang lain menyatakan organisasi sebagai kesatuan yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara perorangan. Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi dibentuk ‘by design’ untuk melayani kebutuhan manusia yang tidak dapat dicapai secara individu. Organisasi lebih dari sekedar alat untuk menyediakan barang dan jasa tetapi juga menyediakan lingkungan di mana sebagian besar dari kita menghabiskan kehidupan.
Sebuah studi tentang organisasi (termasuk oganisasi misi) terdiri dari individu, kelompok individu, struktur dan proses organisasi. Gibson, Ivancevich,dan Donnelly menggambarkan
model organisasi sbb:

Perilaku di dalam organisasi: Individu Perilaku dan perbedaan individu Teori motivasi dan aplikasinya Imbalan, hukuman, dan disiplin Stress dan individu
Perilaku dalam organisasi: kelompok dan pengaruh antar pribadi
Perilaku kelompok Perilaku antar-kelompok dan penanganan
Konflik Kekuasaan dan politik Kepemimpinan Struktur organisasi, Desain organisasi, Desain pekerjaan
Proses organisasi, Komunikasi Pengambilan keputusan, Evaluasi prestasi kerja Sosialisasi/karier
Semua komponen dari model organisasi di atas menunjukkan bahwa setiap perubahan variabel dapat mempengaruhi perilaku organisasi dan perilaku individu. Setiap perubahan pimpinan, perubahan struktur dan proses organisasi dll pasti mempunyai pengaruh dalam perilaku organisasi. Sebuah organisasi yang baik mempunyai visi dan misi yang jelas. Visi dan misi ini berfungsi sebagai dasar acuan organisasi untuk mencapai tujuan. Model organisasi di atas dibangun dengan dasar visi dan misi organisasi.
Organisasi merupakan wadah atau tempat persekutuan dua orang atau lebih manusia yang melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan. Orang mendirikan organisasi karena, banyak alasan antara lain karena organisasi dapat melakukan suatu kegiatan yang tidak mungkin dilakukan seorang diri. Organisasi sangat penting dalam kehidupan masyarakat, karena dapat memberikan berbagai keuntungan maupun dapat memberikan kemudahan dalam pencapaian tujuan secara efektif dan efesien. Disamping organisasi dipandang sebagai wadah, organisasi juga dapat dipandang sebagai proses manusia untuk berinteraksi dan bereaksi melakukan berbagai aktifitas masing-masing. Karakteristik penampilan oraganisasi ditentukan oleh manusianya sendiri, karena manusia dalam organisasi memiliki dua karakter utama, yaitu perilaku(behavior) dan gaya(style). Dua karakter manusia ini dalam sebuah organisasi sangat
dipengaruhi oleh kejiwaan (psychology) atau roh manusia.
Setiap organisasi dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat senantiasa berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Untuk tidak tergilas dari pesaing organisasi lainnya maupun karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka peran dua karakter manusia tersebut diatas sangat menentukan kekuatan suatu organisasi sebagai berikut :

1. Memisahkan tugas-tugas secara tegas dan jelas setiap anggota organisasi sehingga pelaksanaannya dapat berhasil guna dan berdaya guna.

2. Memperkenal standar yang harus dipedomani,baik yang berkaitan dengan metode kerja ,maupun kontrol kerja dalam organisasi.

3. Menetapkan upah atau gaji sebagai rangsangan manusia dalam organisasi secara adil,sebagai alat pemotivasi untuk berkarya lebih giat lagi.

2. Pengertian Perilaku Keorganisasian

A. Indriyo Gito Sudarmo dan Nyoman Sudita (1997)
Bidang ilmu yang mempelajari tentang interaksi manusia dalam organisasi yang meliputi studi secara sistematis tentang perilaku struktur dan proses dalam organisasi.

B. Keith Davis dan John Newstrom (1985)
Telaah dan aplikasi pengetahuan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi.

C. Gibson dan kawan-kawan (1996)
Bidang studi yang mencangkup teori, metode dan prinsip-prinsip dari berbagai disiplin guna mempelajari persepsi individu, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan saat bekerja dalam kelompok dan dalam organisasi secara keseluruhan, menganalisa akibat lingkungan eksternal terhadap organisasi studinya, misi dna sasaran serta strategi.

D. Stephen P.Robins (2001)
Bidang yang menyelidiki pengaruh yang ditimbulkan oleh individu, kelompok dan struktur terhadap perilaku (manusia) di dalam organisasi dengan tujuan menerapkan pengetahuan yang dapat untuk meningkatkan efektivitas organisasi.
Kesimpulannya yang dapat diambil dari uraian di muka adalah bahwa perilaku keorganisasian adalah suatu studi tentang apa yang dikerjakan oleh orang-orang dalam organisasi dan bagaimana perilaku orang-orang tersebut dapat mempengaruhi kinerja organisasi dengan bahan kajiannya adalah sikap manusia terhadap pekerjaan, terhadap
rekan kerja, imbalan , kerjasama dan yang lainnya.

E. Fred Luthan
Menurut Fred Luthan, Perilaku organisasi didefinisikan sebagai Studi dan aplikasi
dari pengetahuan tentang bagaimana orang, individu dan kelompok bertindak dalam
organisasi.
“Organizational Behavior (OB) is the study and application of knowledge about how
people, individuals, and groups act in organizations”
Ia menafsirkan hubungan manusia dan organisasi dalam bentuk keseluruhan dari seorang manusia, Selurh kelompok, dan seluruh organisasi dan seluruh sistim sosial (system approach). Sikap organisasi sangat penting bagi manajemen sumber daya manusia, karena sikap ini akan mempengaruhi perilaku –perilaku organisasi. Sikap – sikap yang berkaitan dengan kepuasan kerja dan memfokuskan pada sikap karyawan
terhadap keseluruhan (Luthan, 1985).

F. Mathis-John H. Jackson,
Perilaku organisasi adalah bagaimana anggota organisasi yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama atau meninggalkan perusahaan yang tercermin dalam tindak tanduk dalam organisasi tersebut.

G. Griffin dan kawan-kawan,
Perilaku organisasi (organisational behavior) adalah sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Seseorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi.

H. Allen dan Meyer,
Ada tiga Dimensi komitment perilaku organisasi adalah :
1. Komitmen efektif (effective comitment): Keterikatan emosional karyawan, dan keterlibatan dalam organisasi,

2. Komitmen berkelanjutan (continuence commitment): Komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin karena kehilangan senioritas atas promosi atau benefit,

3. Komitmen normatif (normative commiment): Perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan.

I. Schermerhorn Jr., Hunt, & Osborn, 2008, p. 5
Perilaku Oganisasi adalah ilmu tentang individu dan kelompok dalam suatu organisasi.
“Organizational behavior is the study of individuals and groups in organizations”.

3.Komunikasi interpersonal
 Menunjuk kepada komunikasi dengan orang lain. Komunikasi jenis ini dibagi lagi menjadi komunikasi diadik, komunikasi publik, dan komunikasi kelompok-kecil.
Model Jendela Johari memusatkan pada keseimbangan komunikasi interpersonal.
Komunikasi interpersonal termasuk:
•    Pidato
•    Komunikasi nonverbal
•    penyimpulan
•    parafrase
Memiliki komunikasi interpersonal yang baik mendukung proses-proses seperti:
•    perdagangan
•    konseling
•    pelatihan
•    bimbingan
•    pemecahan konflik
Komunikasi interpersonal merupakan subyek dari beberapa disiplin dalam bidang psikologi, terutama analisis transaksional.
Komunikasi ini dapat dihalangi oleh gangguan komunikasi atau oleh kesombongan, sifat malu, dll.

Contoh untuk Keorganisasian :
Organisasi Kemahasiswaan atau biasa disebut BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) , Kelompok ini didirikan atas tujuan untuk menyalurkan kegiatan mahasiswa dan mengatur kegiatan sedemikian rupa agar terlaksana dengan baik . 



\

KATA - KATA MUTIARA PEMBAKAR SEMANGAT




Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita
adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba
itulah kita menemukan dan belajar membangun
kesempatan untuk berhasil


kita hanya dekat dengan mereka yang kita
sukai. Dan seringkali kita menghindari orang
yang tidak tidak kita sukai, padahal dari dialah
kita akan mengenal sudut pandang yang baru


Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi
pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus
belajar, akan menjadi pemilik masa depan


Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi
pencapaian kecemerlangan hidup yang di
idamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa
kesenangan adalah cara gembira menuju
kegagalan


Jangan menolak perubahan hanya karena kita
takut kehilangan yang telah dimiliki, karena
dengannya kita merendahkan nilai yang bisa
kita capai melalui perubahan itu


kita tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila
kita berkeras untuk mempertahankan cara-cara
lama kita. kita akan disebut baru, hanya bila
cara-cara kita baru


Ketepatan sikap adalah dasar semua ketepatan.
Tidak ada penghalang keberhasilan bila sikap
kita tepat, dan tidak ada yang bisa menolong
bila sikap kita salah


Orang lanjut usia yang berorientasi pada
kesempatan adalah orang muda yang tidak
pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi
pada keamanan, telah menua sejak muda


Hanya orang takut yang bisa berani, karena
keberanian adalah melakukan sesuatu yang
ditakutinya. Maka, bila merasa takut, kita akan
punya kesempatan untuk bersikap berani


Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan
stress adalah kemampuan memilih pikiran yang
tepat. kita akan menjadi lebih damai bila yang
kita pikirkan adalah jalan keluar masalah.


Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui
mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan
tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan
yang kemudian kita dapat


Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara
kerjanya yang tidak lagi menghasilkan, berlaku
seperti orang yang terus memeras jerami untuk
mendapatkan santan


Bila kita belum menemkan pekerjaan yang sesuai
dengan bakat kita, bakatilah apapun pekerjaan
kita sekarang. kita akan tampil secemerlang
yang berbakat


Kecewa atau tidak, semua tergantung Anda, tergantung bagaimana Anda menyikapi kegagalan. Berharap sedikit hanya akan menghambat Anda mengoptimalkan potensi Anda.

Lebih banyak Anda mencoba, akan mendekatkan Anda kepada sukses, meskipun Anda akan mengalami banyak kegagalan. Namun cuma itulah yang kita diperlukan, karena kita sering tidak tahu mana yang akan berhasil.

Kebahagian yang didapatkan oleh orang yang menghindari kekecewaan adalah kebahagian yang semu, dia bukan bahagia tetapi hanya tidak kecewa saja.

Banyak perusahaan yang dimulai dengan modal besar bangkrut, sebaliknya bisnis dengan modal kecil banyak yang berhasil. Jadi bukan uang yang menentukan keberhasilan Anda!

Ubahlah sudut pandang Anda terhadap kegagalan, maka Anda tidak akan kecewa terhadap kegagalan yang Anda alami, setidaknya kekecewaan Anda akan sedikit atau sementara saja.

Allah SWT mungkin memberikan ujian berupa kegagalan dan kehilangan kepada kita untuk mengajarkan hikmah kepada kita. Mungkin, kegagalan, masalah, dan lingkungan yang tidak menyenangkan adalah sebagian dari skenario Allah SWT dalam membina diri kita.

Jangan hiraukan opini negatif Anda, bentuklah kebiasaan beraksi agresif dan positif terhadap ancaman, masalah, dan kegagalan. Fokuskan diri Anda pada sasaran akhirnya, terlepas apapun yang terjadi saat ini. Jika sikap kita benar, pengalaman mengecewakan akan memberikan hikmah yang membuat kita bahagia.

Mari kita sama-sama belajar kepada pengalaman. Bukan saja pengalaman diri kita saja, tetapi kita juga bisa belajar pada pengalaman orang lain. Pengalaman adalah guru yang bijak.

Ketekunan dan kesabaran jika digabungkan menjadi modal yang sangat besar untuk meraih sukses.

Keberhasilan Anda adalah ditentukan oleh Anda sendiri dan takdir Allah SWT. Bukan oleh orang lain.

Ketimbang tersinggung dengan ejekan dan kritikan, akan lebih baik jika kita malah mengambil manfaatnya. Kadang ejekan dari musuh lebih jujur dari pada pujian seorang teman.

Para pemenang mangambil tanggung jawab terhadap hidupnya. Mereka tidak pernah menyalahkan orang lain atau pun lingkungan. Mereka tidak suka mencari-cari alasan terhadap kegagalan mereka.

Dengan hidup di atas garis, kita tidak akan mandeg dengan alasan kondisi atau apa pun yang terjadi pada diri kita. Hidup kita akan lebih hidup. Kita akan bergairah dan memiliki determinasi yang tinggi dalam mencapai cita-cita kita.

Orang yang biasa berdalih tidak akan mengambil pelajaran dari kesalahan dan kegagalan, kerena dia sudah siap untuk berdalih lagi.

Tidak akan ada keberhasilan tanpa tindakan. Tidak akan tindakan tanpa keberanian. Jadi tidak akan keberhasilan tanpa keberanian. sukses sejalan dengan keberanian.

Jika wawasan Anda akan semakin luas, Anda akan menemukan jalan-jalan baru untuk meraih sukses. Insya Allah dalam waktu yang tidak lama ketakutan pada diri Anda akan hilang.

Jangan takut menambah saingan dengan membina orang lain, rezeki Allah begitu melimpah di bumi ini. Dan Allah telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya bahkan hewan melata sekalipun.

Gairah adalah salah satu elemen pokok yang meringankan upaya dan mengubah kegiatan-kegiatan yang biasa-biasa saja menjadi suatu pekerjaan yang dapat dinikmati.

Semakin besar “Mengapa” Anda akan semakin besar energi yang mendorong Anda untuk meraih sukses.

Mimpi tidak hanya membantu Anda berhadapan dengan kegagalan, tetapi mereka juga memotivasi Anda secara konstan.

Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.

Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.

Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.

Apakah kita bisa untuk mengemban misi kita? Insya Allah kita bisa, karena Allah Mahatahu, Allah tahu sampai dimana potensi dan kemampuan kita. Jika kita tidak merasa mampu berarti kita belum benar-benar mengoptimalkan potensi kita.

Jika target obsesi itu baik, maka memiliki obsesi bukan hanya baik, tetapi harus. Karena motivasi dari sebuah obsesi sangat kuat.

Untuk menjadi sukses, Anda harus memutuskan dengan tepat apa yang Anda inginkan, tuliskan dan kemudian buatlah sebuah rencana untuk mencapainya. Bisakah kita meraih sukses yang lebih besar lagi?

Merumuskan Visi dan Misi adalah salah satu bentuk dalam mengambil keputusan, bahkan pengambilan keputusan yang cukup fundamental. Visi dan Misi Anda akan menjiwai segala gerak dan tindakan di masa datang.

Jangan takut dengan gagalnya meraih visi, kegagalan meraih visi sebenarnya bukan suatu kegagalan, tetapi merupakan keberhasilan yang Anda tempuh meski tidak sepenuhnya. Visi itulah yang akan menuntun perjalanan hidup Anda.

Menciptakan kebiasaan baru adalah salah satu dari kunci sukses. Jika anda ingin sukses Anda harus mulai menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang akan membawa Anda kepada kesuksesan.

Jika Anda ingin menang— dalam bisnis, karir, pendidikan, olah raga, dsb— maka Anda harus memiliki kebiasaan-kebiasaan seorang pemenang pula. Jika Anda ingin suatu kehidupan yang berbeda, buatlah keputusan yang berbeda juga.

Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Potensial pilihan Anda begitu melimpah, keputusan Anda dapat saja merubah hidup Anda secara dramatis dalam waktu singkat.
Hanya satu motivasi yang ada, yaitu Allah. Adapun motivasi lainnya harus dalam rangka “karena dan/atau untuk” Allah



CONTOH KATA SAMBUTAN PERPISAHAN MAHASISWA PKL




Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadiran Allah SWT atas berkat rahmat,karunia dan hidayahnya kita semua bisa berkumpul di ruangan yg sederhana namun berbahagia dalam keadaan sehat baik jasmani dan rohani dalam rangka pelepasan mahasiswa pkl umts.
Tak lupa Shalawat dan salam  senantiasa tercurahkan kpd NABI MUHAMMAD SAW yang telah menerangi jagat ini dgn pencerahan iman,islam dan ikhsAN.

YANG TERHORMAT DOSEN PEMBIMBING
YANG TERHORMAT BPK KEPALA SEKOLAH SMAN 3
YANG TERHORMAT BPK WAKIL KEPSEK SEKALIGUS KORDINATOR PAMONG
YANG TERHORMAT PARA BPK IBU GURU DAN STAF TATA USAHA SMAN3
YANG SAYA BANGGAKAN REKAN REKAN PKL DAN YG SAYA SANYANGI DAN BANGGAKAN SISWA/I SMAN3

Hadirin yg saya hormati,
Tidak terasa hari ini merupakan hari terakhir kami mengabdikan diri di sekolah ini.setelah 2 bulan kami berada disini byk pengalaman yg kami peroleh sebagai bekal kami di kehidupan kelak.
Saya sebagai ketua kelompok PKL mewakili seluruh Rekan Rekan PKL mengucapkan Terima kasih yg sebesar besarnya kpd seluruh perangkat sekolah ini yg telah memudahkan kami selama menjalani pkl di sekolah ini.
Kepada Guru Pamong, kami ucapkan ribuan terima kasih atas bimbingan bpk ibu guru kami mendapatkan byk pengalaman yg tidak kami duga sebelumnya. Kami byk mendapatkan suka dan suka selama P kl disini.

Pengalaman disekolah ini benar benar tidak tidak bisa kami lupakan. Ilmu yg kami peroleh sangat byk selain kemampuan belajar,kami disini juga mendapatkan pengetahuan umum diantaranya bersosialisasi,berkolaborasi dan masih byk lagi.
Kpd siswa  yg telah membantu kami dalam proses belajar mengajar, kami ucapkan terima kasih yg sebesar-besarnya karena tanpa kerja sama kalian ilmu yg kami dapatkan selama mengikuti PKL tidak kan tersampaikan secara baik dan maksimal.

Kalian telah mengingatkan kami akan masa masa sekolah dlu,kalian memberikan peringatan kpd kami betapa susahnya menjadi seorang guru yg harus memperhatikan setiap gerak gerik siswa.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kpd pihak sekolah yg telah memberikan tempat disekolah sebuah ruangan yg sangat nyaman,aman dan tentram.

Hadirin yg saya hormati,
Kami juga menyadari bahwa selama disini kami telah melakukan banyak kesalahan,baik yg tidak di sengaja maupun yg di sengaja. Oleh karena itu kami meminta maaf yg setulusnya untuk untuk segala kesalahan kami. Jika ada tingkah yg tak patut, jika ada canda yg melampaui batas kami meminta maaf.Hari ini adalah hari perpisahan  kami berada  di sekolah ini sebagai mahasiswa pkl, tapi kami sangat berharap bahwa ini bukanlah akhir dari silaturrahmim kita semua.

Semoga kita semua masih tetap  menjaga  hubungan baik yg telah kita bangun selama ini.
Hadirin yang saya hormati,
Demikianlah sambutan yg bisa saya sampaikan dalam kesempatan kali ini, terima kasih atas perhatian yg telah hadirin berikan semoga yg saya sampaikan ini bermanfaat buat kita semua.

Billahittaufiq wal hidayah ,

Wassalamualaikum wr.wb

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM

SEBUAH CATATAN PRIBADI
M.DAWAM RAHARDJOM. 

#Di Tulis Oleh Ikhsan Hasibuan

Jika hari cerah, pagi-pagi sekali Merapi yang mengerucut tinggi semampai itu sudah mengamati dengan matanya yang biru: kota Yogyakarta menggeliat bangun, tanpa selimut kabut di atas lembah yang hijau terbentang jauh hingga ke laut selatan, melalui bukit-bukit Gunung Kidul. Merapi itu sendiri bagaikan orang muda yang sudah beruban, ketika tertutup awan tipis yang menyapu
lembut di puncaknya. Lebih-lebih ketika bulan puasa, lembah yang rimbun dan gelap itu sudah hingar bingar oleh celoteh pejalan kaki yang memenuhi Malioboro,

Pembaharuan tanpa Apologia?
yang membelah kota dan menghubungkan utara dan selatan. Di utara, ada masdjid Syuhada yang selalu ramai dengan kegiatan. Di selatan, ada Masjid Besar Kraton dan kampung Kauman. Suara adzan terdengar dari masjid-masjid dan langgar-langgar di seluruh penjuru kota yang religius itu . Aku menengarai bahwa Yogya yang merupakan pusat Muhammadiyah itu tidak memiliki tradisi tarhim, seperti halnya di Solo, terutama di kampungku, Pasar Kliwon yang dihuni oleh orangorang
Hadramaut. Di kerumunan pejalan kaki yang mencari tempat sholat subuh di tempat-tempat lain, seorang pemuda dari Asrama
 ”Yasma”, Masjid Sjuhada bertanya kepada temannya:
 ”Bisakah saya menemukan dia di gelap dinihari ini?” 
Kawannya itu, anehnya, menjawab spontan dan yakin: ”bisa !” karena kemuatan majnun di hatinya. Memang bisa, pemuda yang lagi kasmaran itu menemukan pacarnya di muka Kepatihan. Padahal
suasana gelap karena bulan sudah lengser. Lagi pula gadis itu mengenakan mukenanya yang putih. Tapi karena wajahnya yang persis bulan purnama, pemuda itu dapat juga mengenalinya, barangkali karena sorot mata bundar gadis itu nampaknya mampu menembus dadanya. Keduanya hanya bersalam-salaman, dengan jantung yang berdetak keras, tanpa berpeluk-pelukan tentunya, seperti pemuda-pemudi Amerika.

Di dekat Kauman, ada sekolah khusus putri yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Sekolah itu
dimaksudkan untuk membentuk muslimah-muslimah yang sholihah. Konon, tujuannya adalah untuk mencetak istri-istri yang baik, yang konon bisa menjadi tiang keluarga sakinah. Di sebelah utara, terdapat kampus Universitas Gadjah Mada, sebagian kuliah masih mempergunakan ruang-ruang Kraton ”Sitihinggil”, Kasunanan Yogyakarta. Masih di bagian itu juga terdapat Universitas Islam
Indonesia (UII), tempat berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di sebelah timur, di pinggir jalan menuju ke Solo, berdiri Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Kawasan utara-selatan itu, dihubungkan oleh kegiatan pacaran antara mahasiswa dan murid sekolah-sekolah putri
Muhammadiyah yang berdiri di Notoprajan yang bergandengan dengan Kauman dan Muallimat NU di sebelah barat Notroprajan. Mahasiswa yang belajar ilmuilmu ”sekuler” itu beranggapan bahwa lulusan sekolahsekolah putri yang umumnya berkerudung itu adalah calon-calon istri yang ideal. Apalagi pada umumnya, mereka berasal dari kelas menengah. Tapi mahasiswa dari kampus utara itu melakukan pacaran ”gelap”, karena dilarang oleh orang tua si gadis. Rupanya si gadis itu sudah ditunangkan dengan saudara sepupunya dari Fakultas Farmasi yang mondok di rumah pamannya itu. Inilah yang menimbulkan ”pemberontak- Pembaruan Pemikiran Islam.

Pembaharuan tanpa Apologia?
 di jiwa pemuda itu, mempertanyakan tradisi fiqih mengapa mengizinkan dua orang saudara sepupu kawin, karena di negara-negara maju hal itu sudah dianggap incest yang menyebabkan keturunan lemah. Padahal al Qur’an sendiri tidak menghendaki keturunan yang lemah, karena itu mengapa hukum fiqih itu tidak diubah saja atas dasar penemuan baru ilmu pengetahuan? Sebab lain larangan berpacaran itu adalah perbedaan suku, si gadis berasal dari Banjar sedangkan si mahasiswa adalah
seorang pemuda Jawa yang derajatnya dianggap lebih rendah oleh orang Melayu, atau mungkin disangka kemuslimannya kurang. Tapi dalam pergaulan mahasiswa, terutama di HMI, perbedaan suku itu praktis sudah lebur, walaupun tawuran pemuda antar suku-suku itu masih sering terjadi, terutama antara pemuda Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Kasusnya bisa sering soal
pacaran. Pernah terjadi, seorang mahasiswa yang dikenal sebagai qori’ dari Sumatera Selatan dihajar hingga babak belur dan dilempar ke parit, gara-gara ia memacari seorang pemudi asal Sulawesi Selatan yang berdarah ningrat Bugis, puteri seorang Walikota Makassar. Jika Solo dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta lebih dikenal sebagai kota mahasiswa. Yogya, yang pernah menjadi Ibu Kota RI itu, juga dikenal sebagai kota kebudayaan. Penyair-penyair besar seperti Rendra atau Kirdjomulyo bermukim di sini. Di majalah ”Mer265 deka”, Rendra pernah menulis bahwa ia lebih suka tinggal di Yogya, karena ia masih bisa bergayut di dahan dan ranting pohon-pohon trembesi yang tumbuh di sepanjang Malioboro. Hanya saja majalah-majalah sastra seperti ”Sastra”, ”Cerpen”, ”Horison” dan ”Konfrontasi” atau membuka ruang sastra seperti ”Siasat” atau ”Merdeka” terbit di Jakarta. Tapi di lapangan intelektual, Yogya cukup menonjol dengan majalah-majalah kampus dan mahasiswanya. Majalah yang diterbitkan oleh HMI, ”Media”, dikelola di kota Gudeg ini. Demikian pula majalah ”Cita”, kebanggaan Pelajar Islam Indonesia (PII). Di lingkungan gerakan Islam, Yogyakarta memiliki budayawan besar, Mohammad Diponogoro merintis seni panggung melalui
”Teater Muslim” . Di sinilah Arifien C. Noer, Syu’bah Asa, Choirul Umam dan Amak Baljun dilahirkan. Saya sendiri ketika menjadi Ketua Panitia Maulud Nabi Masjid Sjuhada, sempat mendirikan kelompok koor dengan nama ”Pecinta Musik Muslim”, yang dipimpin oleh seorang Ahmadiyah, komponis Suhadi. Anggotaanggota paduan suara itu antara lain, Amaroso Katamsi,
Pranawengrum, Widiyati Saebani, Ivada (kemudian menjadi panyiar TV), Suyono, Pung Masykuri dan orangorang yang banyak di antaranya berasal dari Fakultas Ekonomi UGM. Saya membentuk kelompok paduan itu karena saya pernah menjadi anggota koor gereja Presbyterian Church, Boise, Idaho, AS, ketika saya menjadi pelajar AFS. 

Di kegiatan pemikiran Islam pada waktu itu digerakkan oleh Islam Study Club (ISC) yang dipimpin
oleh Santoso Pudjosubroto, kelak pernah menjadi Hakim Agung dan digairahkan oleh penceramah-penceramah seperti Mukti Ali, Ahmad Basuni dan wartawan senior Sundoro. ISC sering mengadakan acara ceramah dan diskusi di aula masjid Syuhada. Pada waktu itu Masjid Syuhada sudah menjadi ”pusat kebudayaan” menurut konsep Gazalba, ”masjid sebagai pusat kebudayaan”. Di aula inipun sering dipentaskan pembacaan puisi. Karena merupakan pusat perguruan tinggi dan masyarakat mahasiswa, maka logis jika HMI dilahirkan di kota ini. Tapi pelopor pendiri HMI bukan orang-orang
Yogya atau Jawa, melainkan orang-orang Luar Jawa. Pendiri HMI, Lafran Pane, adik sastrawan besar Pujangga Baru, Armyn Pane dan Sanusie Pane, adalah orang Batak Mandailing. Penggerak HMI sebenarnya adalah orang orang Luar Jawa juga. Hanya saja, rasa perbedaan suku di lingkungan HMI dan gerakan-gerakan mahasiswa lainnya, seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) , CGMI (Consentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia) atau PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik Indonesia), boleh dikata sudah tidak ada, walaupun orangorang asli Yogya, masih nampak ketidak-senangannya terhadap orang-orang ”Sumatera”, yang mewakili orang Luar Jawa itu, karena mereka sering suka berkelahi atau memacari gadis-gadis Jawa, tetapi akhirnya menuruti kemauan orang tua mereka, kawin dengan perempuan sesuku dan dari kalangan keluarga mereka sendiri. Saya berkenalan dengan orang-orang Luar Jawa, bukan terutama di UGM, melainkan di HMI. Di situlah
saya berkenalan dengan Djohan Effendi, orang Banjar, Mahadi Sinambela, orang Batak, juga Ahmad Wahib, orang Madura. Tapi terus terang, ketika bergaul dengan Wahib, saya tidak pernah menyadari bahwa Wahib itu orang Madura. Saya cuma menyadari bahwa Amien Rais adalah orang Solo, karena kami pernah satu sekolahan di madrasah Al Islam, atau Nurbasya Junaid, sekarang masih Ketua GKBI, orang Pekalongan atau Tawangalun. Kami bertemu dan berteman akrab di HMI, melebur identitas kesukuan dan kedaerahan kami masing-masing. Sebelum masuk HMI, saya pernah aktif menjadi pengurus PII sejak SMP di Solo. Karena aktif di PII itulah saya bisa ikut serta dalam program AFS (American Field Service) dan bersekolah di Borah High School, Idaho. Ketika menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi UGM, saya tidak langsung tertarik masuk HMI. Malah saya pernah tertarik masuk ke Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Tapi akhirnya saya masuk juga ke HMI,
karena ditarik-tarik oleh teman-teman dekat saya, terutama Mohammad Assegaf, seorang teman sekelas di SMA, tapi lebih dahulu masuk ke Fakultas Hukum UGM. 


Saya kira, saya akhirnya memilih HMI, karena saya berasal dari sebuah keluarga santri-modernis. Ayah saya sendiri bersekolah di Mamba’ul Ulum dan sekaligus mondok di Pesantren Jamsaren. Setelah lulus, mula-mula menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, kemudian menjadi
pengusaha yang sukses. Karier saya di HMI tidak usah merangkak dari bawah. Soalnya, saya langsung bergaul dengan tokoh-tokoh HMI. Dari situ saya dikenal ”memiliki ilmu”. Sejak di SMA saya memang sudah gemar membaca. Ayah saya sendiri sangat memanjakan saya untuk beli buku. Karena pernah sekolah di Amerika, maka saya punya kemampuan untuk membaca buku-buku Inggris. Tapi saya sendiri pernah menerjemahkan puisi-puisi dalam bahasa Inggris dan masuk koran dan majalah. Kamudian saya manyair dan menulis cerita pendek ketika mahasiswa. Dari buku-buku
sastra, saya merambat ke buku-buku ilmiah. Bahkan di SMA saya sudah membeli buku-buku Sigmund Freud dan Karl Marx yang saya dapatkan di toko buku kecil tapi lengkap, ”Budi Laksana”, Solo. Saya juga membaca karyakarya Iqbal terjemahan Bahrum Rangkuti, di samping membaca sendiri lirik-lirik Tagore dari bahasa Inggris. Ketika mahasiwa saya pernah menerjemahkan karya Tagore, ”Karna dan Kunti” dimuat di majalah Horison. Di majalah itu pula saya pernah memasukkan terjemahan nukilan novel Nikos Kazansakis, ”The Last Temtation of Christ” yang kontroversial itu. Konon H.B. Jassin dan redaktur lainnya menolak memuat terjemahan itu. Tapi berkat perjuangan
Soe Hok Gie, akhirnya terjemahn itu dimuat juga yang ternyata mengundang banyak surat protes, mungkin karena ada adegan persetubuhan antara Jesus dan pelacur Magdalena, walaupun hanya dalam khayal. Saya masuk HMI mungkin juga karena saya sendiri sebenarnya sudah mengenal pergerakan Islam. Saya sangat mengenal dekat Masyumi, karena keluarga saya
adalah keluarga Masyumi. Sejak SMA saya selalu mengikuti majalah ”Cita” maupun ”Media”, juga majalah kebudayaan Islam ”Misykah” yang hanya terbit dua kali itu, yang memuat karya-karya ilmiah maupun sastra dan kebudayaan. Dua majalah itulah yang mengisi saya dengan roh gerakan Islam, kala masih remaja. Ketika menjadi mahasiswa, saya membaca dengan tekun majalah ”Panji
Masyarakat” yang diasuh oleh buya Hamka. Dari situlah saya mengenal A. Mukti Ali yang sering menulis soal-soal pembaharuan Islam. Saya kira Mukti Ali lah yang pertama kali memperkenalkan ide-ide pembaharuan pemikiran Islam. Ia pernah pula membandingkan gerakan pemikiran  DI Mesir dengan di Indonesia. Ia pula yang mengungkapkan arti penting Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaharu dengan pola dinamismenya yang membedakan diri dari pembaharuan di Mesir yang lebih bercorak liberal di bidang pemikiran. Akibatnya memang, Muhammadiyah tidak dikenal sebagai pelahir pemikiran pemikiran baru. Itulah barangkali yang menimbulkan kesan pada Nurcholish Madjid di kemudian hari, bahwa Muhammadiyah sudah tidak lagi menjadi ”pembaharu”. Sebab, pembaharuan pemikiran hanya dilakukan di tahap awalnya saja. Selanjutnya, Muhammadiyah lebih menekankan gerakan amal sosial, terutama di bidang pendidikan. Dari pemikiran liberal, Muhammadiyah berpindah kepada dinamisme. Hal itu terjadi karena pengalaman  Bahwa pemikiran liberal yang dilancarkan oleh Muhammadiyah pada tahap awal berdirinya, ternyata telah menimbulkan banyak kontroversi. Dengan dinamisme dan bersemboyan ”Sedikit bicara banyak bekerja”, Muhammadiyah selamat dan berkembang terus, walaupun tidak dikenal sebagai sumber pemikiran baru. Agaknya pemikiran baru itu hanya bisa dilontarkan oleh individuindividu pemikir. Karena jika sudah menjadi organisasi, apalagi organisasi besar seperti Muhammadiyah, risikonya
sangat besar, baik berhadapan dengan masyarakat maupun pemerintah. Sungguhpun begitu, Muhammadiyah sempat melahirkan seorang pemikir liberal seperti Ahmad Azhar Basyir, lulusan Universitas al Azhar, yang mengajar filsafat Islam di UGM. Di HMI saya langsung menjadi tokoh ”pemikir” atau ketika itu dikenal dengan sebutan ”konseptor”, antar lain mengembangkan kurikulum training-training. Hal yang sama dialami oleh Djohan Efendi dan Ahmad Wahib. Djohan
Efendi sendiri sebelumnya sudah dikenal sebagai tokoh pemikir. Ia pernah menjadi asisten Pak Arsyad dalam Sunday Morning Class, sebuah forum ceramah terbuka (juga dalam arti dilakukan di halaman terbuka) yang diselenggarakan oleh gerakan Ahmadiyah Lahore. Ternyata ke-Ahmadiyahan Djohan tidak pernah diungkit-ungkit di lingkungan HMI. Tapi pula karena Djohan tidak pernah menonjolnonjolkan ke-Ahmadiyahan-nya. Arus pemikiran Islam liberal memang mengalir dari
dan lewat Ahmadiyah. Buku-buku Ahmadiyah itu dibaca oleh Tjokroamninoto, Agus Salim, Sukarno dan kemudian Mukti Ali yang pernah belajar di Pakistan dan berkenalan langsung dengan orang-orang Ahmadiyah. Tapi tidak seorangpun dari tokoh-tokoh pemikir itu yang masuk Ahmadiyah. Tulisan orang-orang Ahmadiyah itu juga masuk ke majalah Media. Djohan Efendi dan beberapa
orang Ahmadiyah seperti misalnya Ahmad Mohammad Djojosugito dan Sofyan Lamardy juga masuk ke HMI, walaupun mereka tidak terang-terangan mempropagandakan Ahmadiyah, bahkan mereka cenderung bersikap taqiyah (bersembunyi). Saya sendiri juga menggemari literatur Ahmadiyah, terutama membaca karya-karya Mohammad Ali, Bahrum Rangkuti dan kemudian tafsir al Qur’an karya Bashiruddin Mahmud Ahmad. Sekalipun Bahrum Rangkuti adalah orang Ahmadiyah Qadian, tetapi ke-Ahmadiyahannya tidak pernah diungkit-ungkit juga dalam gerakan Islam. Bahkan ia pernah diangkat menjadi Sekjen Departemen Agama dan menjadi tokoh  Budayawan Islam yang sangat dihormati. Pembaharuan pemikiran Islam yang bercorak liberal sebenarnya bukan merupakan gejala baru. Hanya saja para pembaharu itu tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pembaharu. Yang menyebut biasanya adalah pengamat atau ilmuwan, misalnya Mukti Ali pada akhir ’60-an, selaku
ilmiawan dan pengamat. Padahal pemikiran-pemikiran baru itu telah dilakukan oleh banyak orang, seperti Ahmad Dahlan, Ahmad Sorkati, Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukarno dan Natsir, masing-masing membawa aspek pemikiran tersendiri. Tapi di antara para pemikir itu, yang paling bercorak liberal adalah Sukarno, yang bisa dikategorikan sebagai pemikir Islam liberal pertama. Mukti Ali, dalam salah satu tulisannya menilai bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pembaharu pemikiran liberal di Indonesia. Setelah Natsir, yang tampil sebagai pembaharu, walaupun ia lebih menempatkan diri sebagai pengamat, adalah Mukti Ali. Tapi di Yogya, dari kampus yang sama, sebenarnya muncul pembaharu yang lain, walaupun kurang dikenal atau diakui, yaitu M. Hasby Asshidiqie. Dia pernah melontarkan gagasan mengenai ”fiqih Indonesia”, yaitu sebuah fiqih yang kontekstual, yang kini mungkin lebih populer dengan sebutan ”fiqih sosial” yang dipersonofikasikan pada K.H. Alie Yafie dan K.H. Sahal Mahfud dari NU. Saya kira karena pengaruh lontaran pemikiran itulah, maka Ahmad Wahib dalam buku hariannya, banyak melakukan kritik terhadap fiqih
tradisional. Dalam catatan harian Ahmad Wahib, tersebut banyak nama, di antaranya adalah Sularso dan Sudjoko Prasodjo. Saya memandang, dua orang tokoh senior HMI pada
zaman kami dulu itu sebagai para pembaharu. Saya berpendapat bahwa tokoh budayawan semacam
Diponogoro adalah juga seorang pembaharu liberal, dengan seni panggung yang diperkenalkannya. Hanya saja ia adalah seorang inovator di bidang teater. Boleh dikatakan, inovasinya bersifat mendobrak tradisi umat Islam dan konsep dakwah yang berpotensi kontroversial.
Inovasi lain Mas Dipo, panggilan akrabnya, adalah puitisasi terjemahan al Qur’an yang kemudian
diikuti oleh Endang Saifuddin Anshari dan H.B. Jassin. Ternyata inovasi Mas Dipo disambut luas, tanpa menimbulkan kontroversi. Padahal terjemahan H.B. Jassin dikritik sengit oleh beberapa ulama. Peranan Mas Larso dan Mas Djoko memang terbatas di lingkungan HMI. Keduanya adalah konseptor sebuah naskah yang berjudul ”Kepribadian HMI”. Tulisan yang kemudian diakui resmi oleh HMI itu, memakai pendekatan sejarah untuk merumuskan ciri-ciri kepri-badian HMI. Modelnya semacam Manifesto Komunis, tulisan Karl Marx atau Pidato ”Lahirnya Pancasila” Bung Karno. Konsep itulah yang kemudian digantikan dengan konsep ”Nilai-nilai dasar Perjuangan HMI” (NDP-HMI) yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dan disyahkan dalam Kongres HMI di Malang, 1968. Padahal NDP memakai pendekatan normatif dan teologis, karena itu terkesan lebih otentik sebagai cerminan ajaran Islam. Tapi ”Kepribadian HMI” berhasil mengubah cara berfikir kalangan HMI ke arah yang bercorak liberal-progresif. Jika NDP lebih bersifat ”fundamantalis” yang hingga kini
masih berlaku itu, maka ”Kepribadian HMI” secara lebih jelas mengandung ide-ide kebangsaan, sosialisme dan demokrasi.

Mas Larso memang adalah seorang demokrat jika tidak disebut sosialis. Di lingkungan HMI, ia memperkenalkan pemikiran Tjokroaminoto, Sukiman Wirjosandjojo dan juga Tan Malaka. Tapi ia kemudian sempat belajar ke Jerman Barat dan dari sana membawa pemikiran sosial-demokrasi yang dirumuskan oleh Willie Achler, yang dikenal juga oleh Nurcholish Madjid. Konsep Sosial-Demokrat ini ia perkenalkan di forum senior-course di pesantren Nagrek. Gagasan ini sampai juga ke telinga
Ahmad Wahib dan diulasnya dalam catatan hariannya. Mas Djoko, bapak Dr. Imam Prasodjo, sosiolog muda dari UI itu, adalah seorang budayawan dan sastrawan yang menulis cerpen-cerpen yang apik. Ia kemudian juga menjadi redaktur dan penulis di majalah ”Gema Islam”, Jakarta. Kami menjuluki Mas Djoko sebagai ”Tan Malaka”, karena ia sering mengembara dan tahu-tahu muncul di
berbagai tempat. Saya sendiri sering bertemu dengan Mas Djoko di rumah Mas Asrori, seorang dosen sosiologi dari Universitas Sebelas Maret. Orang ini juga punya pikiran yang ”macem-macem” mengenai soal-soal kemasyarakatan dan sangat menguasai teori Talcott Parsons. Mas Djoko
sering juga melontarkan ide-ide segar. Tapi ia lebih dikenal sebagai seorang guru yang bersedia mendengarkan dan mengapresiasi orang lain, sekalipun lebih muda.
Mas Larso dan Mas Djoko juga terlibat dalam gerakan dakwah di lingkungan PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) yang dipimpin oleh Letjen. Sudirman. PTDI ini juga punya tokoh pemikir pembaharu, yaitu Marwan dari Solo dan Widjisaksono dari Yogya yang ahli kejawen dan sejarah Islam di Jawa. PTDI membuat definisi baru mengenai dakwah, yaitu ”mengubah masyarakat dari satu kondisi ke kondisi yang lebih baik”. Pemikiran ini juga mempengaruhi HMI, sehingga organisasi mahasiswa Islam ini cenderung berfikir historis-sosiologis.
Baik mas Larso maupun mas Djoko adalah guru-guru kami, walaupun dengan gaya yang berbeda. Mas Larso sering mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang provo-katif. Ia sering melakukan penilaian yang kritis terhadap Masyumi, terutama kepemimpinan Natsir. Ia menyayangkan
pemikiran Natsir yang tidak apresiatif terhadap nasionalisme. Ia juga menyesalkan mengapa ia menyianyiakan kepercayaan Bung Karno kepadanya, ketika ia menjadi sekretaris Bung Karno. Ia juga mempertanyakan mengapa Natsir lebih dekat dengan Sjahrir, padahal tokoh PSI ini tidak memiliki empati sama sekali terhadap Islam.
Apakah kedekatan Natsir dengan Sjahrir karena unsur kesukuan, karena kedua-duanya berasal dari Minang? Walaupun keduanya berasal dari fakultas pendidikan, tapi Sularso lebih berfikir politis, sedangkan Mas Djoko lebih bersikap edukatif. Berbeda dengan mas Larso yang kritis terhadap Masyumi, Mas Djoko lebih apresiatif terhadap tokoh-tokoh Masyumi yang berwatak demokratis. Ia sering mengerem sikap kritis orangorang seperti Mar’ie Muhammad dan Sulastomo terhadap Masyumi. Perbedaan sikap ini ikut mewarnai pemikiran Djohan-Wahib, sebagaimana tercermin
dalam buku harian Ahmad Wahib. Keduanya bersikap kritis terhadap politik Masyumi yang kurang apresiatif terhadap ide kebangsaan, tetapi mereka berdua sangat menghargai pribadi-pribadi para pemimpin Masyumi, seperti Natsir, Prawoto, Roem dan Sjafruddin. Walaupun ia bersikap kritis terhadap Masyumi yang dekat dengan PSI, tetapi teman-teman bergaulnya lebih akrab dengan kalangan PSI. Ia bersahabat misalnya dengan Goenawan Mohamad. Jika ke Solo, Goenawan
menginap di rumah Mas Larso di Laweyan. Misalnya ketika mengantarkan kawannya dari Philipina, Jose Rocamora, yang menulis disertasi mengenai PNI dan kemudian mengajar di Universitas Berkeley, California. Kami juga sering menyambut kedatangan Wiratmo Sukito, ketika mempropagandakan Manifesto Kebudayaan di Solo. Saya sendiri juga ikut kampanye Manikebu di Yogya, terutama dengan Romo Dick Hartoko dan pernah menyelenggarakan pertemuan antar budayawan di pusat Kateketik, di Kota Baru, Yogya. Namun saya tidak sempat ikut menanda-tangani dukungan terhadap Manikebu, sehingga saya selamat dari pengucilan. Cerpen dan esaiesai saya tentang kebudayaan tidak dicekal di Yogya, Solo, maupun Jakarta. Saya sebenarnya tidak tahu bahwa
Wahib bersahabat dengan room-romo atau pasturpastur. Tapi saya sendiri bersahabat dan sering ngobrol dengan Romo Dick Hartoko. Mas Larso sebenarnya adalah orang yang ”menemukan”
(discover) Ahmad Wahib. Pada suatu hari kami menghadiri ceramah Ketua HMI pada waktu itu, Drs.
Med. Sulastomo, seorang tokoh muda, asal Solo, berperawakan tinggi, putih dan bermata sipit seperti Cina yang jika berkata selalu disertai dengan senyum. Pada waktu itu ia dikenal cukup dekat dengan Bung Karno. Kami berdiri di luar, di muka pintu gedung di halaman selatan Masjid Agung, Kesunanan Yogyakarta, tempat Sri Sultan bersembahyang Jum’at. Lalu Mas Larso, menyeletuk: ” Wam, saya tunjuki sini seorang anak pinter”, katanya. ”Mana?” tanyaku. ”Itu yang duduk dimuka
itu!” jawabnya. Saya melihat seorang yang berperawakan kecil sedang tekun mendengarkan ceramah mas Tom mengenai perkembangan politik nasional. Sejak itulah saya berkenalan dan bergaul dengan
Wahib. Rupanya dia sudah tahu saya dan tahu bahwa saya memiliki banyak buku. Maka ia sering datang ke Asrama ”Yasma” dekat masjid Syuhada. Setelah ngobrol, pulangnya ia meminjam buku. Saya ingat, yang dipilih adalah buku-buku berbahasa Inggris, salah satunya adalah buku tentang ”Men of Ides and Men of Action”. Karena membaca buku berbahasa Inggris, maka dalam
catatan hariannya ia mengkririk pandangan keliru Mukti Ali tentang Freud dan Marx. Freud memang
sering disalah-pahami sebagai orang yang mendewakan seks dan Marx adalah seorang materialistis. Persepsi ini sangat keliru yang menandakan bahwa mereka tidak
membaca Marx ataupun Freud. Walaupun kami lahir di tahun yang sama, 1942, saya
di bulan April dan Wahib di bulan November, tapi Wahib menganggap saya seniornya, mungkin karena ia merasa banyak menggali ilmu dari saya. Dalam pergaulan, ia memanggil saya dengan sebutan akrab ”Mas Dawam”. Malah mungkin ia mengaggap dirinya ”kader” saya. Tapi dalam forum diskusi ia berani berbeda pendapat dengan saya, misalnya mengenai modernisasi. Dia sangat pro modernisasi, sedangkan saya sering bersikap kritis terhadap modernisasi. Di HMI, kami bergaul di lingkungan perkaderan. Kami, demikian juga Djohan Efendi dan Mansyur Hamid, seorang Bugis yang suaranya merdu ketika membaca al Qur’an, diangkat menjadi instruktur. Mansyur juga
seorang yang berpandangan liberal. Pada waktu itu, HMI Cabang Yogya selalu mengadakan training di desa-desa,  di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah di sekitar Muntilan, Magelang, hingga ke daerah Temanggung, juga sampai ke Bantul di pantai selatan, yang merupakan pusat Muhammadiyah. Daerah Magelang dan Muntilan terletak di kaki sebelah barat Gunung Merapi. Di waktu malam, udaranya sangat dingin, merasuk sampai ke tulang. Di siang hari, udaranya sejuk karena daerah itu sangat rimbun, khas pedesaan Jawa. Pernah saya kedinginan, karena hanya berselimut sarung, sehingga saya terpaksa menyelamatkan diri dengan ”adu punggung”
dengan seorang kawan yang berbadan besar. Dalam acara training inilah, di luar kelas, kami ngobrol dan berbincang tentang segala hal. Saya merasa, catatan Ahmad Wahib itu banyak yang merupakan
refleksi diskusi-diskusi yang kami lakukan. Pada suatu hari, saya punya ide untuk membentuk grup diskusi dengan meminta Pak Mukti Ali menjadi pembimbing yang kemudian disebut ”Limited Group”. Saya lalu minta Ahmad Wahid menjadi sekretaris, sehingga ia bisa mempersiapkan jadwal acara dan undangan. Banyak orang yang ikut dalam diskusi, walaupun bergantian, di antaranya Sjaifullah Mahyuddin, Ichlasul Amal, Syu’bah Asa, Amien Rais, dan Yahya Muhaimin. Pernah kami
berdiskusi di kediaman Romo Baker, sahabat Pak Mukti Ali. Saya ingat umpamanya, Ichlasul Amal, yang kemudian Rektor UGM itu membawakan teori sistem politik Gabriel Almond, yang merupakan gambaran dari sistem politik yang universal. Dialog antar agama sudah merupakan pemikiran
kami pada waktu itu. Mungkin ini karena pengaruh Pak Mukti Ali yang mempelopori studi perbandingan agama. Sikap ini tercermin ketika Mukti Ali menjadi Menteri Agama. Ia menugaskan Djohan untuk merintis dialog antar-agama. Dengan ikut sendiri mengalami program-program Limited Group saya menilai program A. Mukti Ali ketika menjadi Menteri Agama otentik.
Saya teringat kepada ucapan Mukti Ali ketika mengantarkan diskusi. ”Saudara-saudara jangan melihat hari ini. Coba tunggu 10 tahun lagi. Pasti diskusi yang

kita lakukan hari ini ada manfaatnya”. Sejarah memang membuktikan ucapan Mukti Ali itu.
Karena itu, tanpa bermaksud untuk bersikap tinggi hati, saya berpendapat bahwa sebelum Nurcholish
Madjid mengucapkan pidatonya mengenai penyegaran pemikiran Islam di Indonesia, kami di Yogya, merasa sudah merancangkan gerakan pembaharuan pemikiran. Saya kira, Nurcholish Madjid juga ”ditemukan” oleh Mas Larso, karena pada suatu hari saya juga diberi tahu bahwa di Jakarta ada ”anak pinter”. Oleh Mas Larso saya kemudian diperkenalkan kepada Cak Nur, di Kantor
PB. HMI di Jalan Diponegoro. Pada waktu itu Cak Nur baru menulis naskah panjang yang berjudul ”Islamisme”. Agaknya Cak Nur ingin mengisi konsep ”Islamisme” pada trilogi Bung Karno ”Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Mas Larsolah yang meyakinkan kawankawan pimpinan HMI, bahwa Nurcholish Madjid adalah pemimpin masa depan. Maka dalam Kongres HMI di Solo, dilakukan rekayasa untuk menjadikan Cak Nur sebagai Ketua HMI melawan Eki Sjahruddin yang
dijagokan kalangan Masyumi. Kami di Yogya, walaupun menyiapkan konsepkonsep
pembaharuan, antara lain, kami mengusulkan disusunnya dua naskah, pertama tentang ”Fundamental
Value of Islam” dan kedua, ”Basic Demand of Indonesian Society”, mengikuti kerangka pemikiran sosial-demokrat yang di bawa oleh Mas Larso. Ternyata yang bisa direalisasikan hanya konsep pertama, oleh Cak Nur yang menjadi naskah ”Nilai-Nilai dasar Perjuangan” yang
bersifat normatif. Sedangkan analisis sosial-histrorisnya hingga kini belum pernah ditulis.
Kelompok Yogya, di lingkungan Djohan-Wahib, ketika itu menentang pemilihan kembali Cak Nur
sebagai Ketua HMI. Karena pencalonan kembali Cak Nur direkayasa oleh kelompok Bandung, di lingkungan Endang Saifuddin Anshari, Imaduddin dan Sakib Mahmud yang dinilai menganut aliran fundamentalis. Itulah yang sebenarnya melatar-belakangi Djohan- Wahib keluar dari HMI. Pada waktu itu, kelompok Bandung melihat Cak Nur sebagai ”Natsir Muda” yang pernah saya laporkan juga di jurnal ”Surakarta” sesudah Kongres Solo.

Kelompok Bandung itu mengira, bahwa Cak Nur berfaham fundamentalis, yang dalam catatan Ahmad Wahib disebut dengan istilah ”ideologi kuat”. Ketika Cak Nur mengemukakan gagasan penyegaran pemikiran Islam di Gedung GPII-PII, Menteng, maka kecewa besarlah kelompok Bandung itu, sehingga Endang Saifuddin Anshari menulis sebuah buku khusus menguraikan kekecewaannya itu. Menurut mereka, sesudah diundang ke AS, Cak Nur sudah berubah menjadi Westernis. Sebaliknya Wahib-Djohan, yang waktu itu masih di Yogya (saya sudah di Jakarta bekerja
di Bank of America), bersorak ria menyambut pemikiran Cak Nur yang liberal itu. Dalam catatan harian Ahmad Wahib, ia mendukung pemikiran Cak Nur. Dalam realitas, berbagai pemikiran baru Wahib telah ditulisnya dalam catatan hariannya. Saya kira, Ahmad Wahib ”ditemukan” dua kali.
Pertama, oleh Mas Larso. Kedua, saya kira oleh Djohan Efendi. Seandainya Djohan tidak tahu bahwa sahabatnya yang paling dekat dalam pemikiran itu menulis buku harian, maka pemikiran Ahmad Wahib tidak akan pernah dikenal. Karena buku harian itulah, yang memakan korban cacian, — termasuk terhadap diri saya, hanya karena sayalah yang mensponsori penerbitan buku itu ketika saya menjadi Direktur LP3ES, padahal saya banyak berbeda dengan Wahib—maka Ahmad Wahib dinilai sebagai salah seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam Liberal dalam buku hasil disertasi Dr.
Greg Barton dari Australia. Saya menilai pemikiran Wahib lebih bersifat menggugat
dan mendobrak faham-faham konvensional, atau dengan istilah sekarang, melakukan dekonstruksi,
karena itu menimbulkan sikap anti-pati dari kalangan fundamentalis, seperti antara lain tercermin dari komentar Prof. Rasyidi. Saya sendiri merasa bahwa saya cenderung berusaha untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam, dengan tujuan memberdayakan umat Islam untuk bisa melakukan proses transformasi kepada kondisi yang lebih baik. Karena itu maka saya sangat bersimpati dengan pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman, Hassan Hanafi dan Abed al Jabiri, para pemikir Islam kontemporer, walaupun saya hanya membaca dari terjemahan-terjemahan dari teks yang berbahasa Arab. Mereka juga melakukan dekonstruksi, tetapi berbeda dengan penganut aliran Posmo, mereka juga melakukan rekonstruksi pemikiran Islam. Tapi saya melihat bahwa isu-isu pemikiran yang ditulis dalam catatan harian Ahmad Wahib ternyata menjadi topik pembahasan pemikir-pemikir Islam kontemporer itu. Pemikiran dan renungan Ahmad Wahib yang menjangkau jauh kemuka itu saya rasa adalah karena hasil pemikirannya yang bebas, jujur dan berani, yang dewasa ini saya lihat
terbersit pada pemikir-pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Hamid Basyaib, dan Ulil Abshar-Abdalla.

Padangsidimpuan,14 januari 2016 (2.20 Wib)